Cari Blog Ini

MANGAKU.WEB.ID

Jumat, 08 November 2013

PAPA

PAPA
Oleh: Laelatul Afidah
Malam yang dingin di kota Tokyo, hembusan angin menggoyangkan ranting  pepohonan yang tertutup salju musim dingin. Tampak sebuah keluarga kecil yang terbilang sangat sederhana tengah bercengkrama di depan perapian mereka yang hangat. Sebuah keluarga yang dikepalai oleh seorang pria yang begitu mencintai kedua bidadari yang telah mengisi hatinya. Sebuah keluarga yang telah kehilangan masa kejayaannya.
“Papa, belikan aku biola~~” rengek gadis kecil. Sang papa tersenyum untuk menanggapi rengekan anaknya.
“Tapi biolamu kan masih, Hikari?”
“Biolaku sudah rusak, aku mau yang baru.” celetus Hikari.
“Iya, besok papa belikan kalo sudah gajian.”
“Sungguh?” tanya Hikari penuh harap.
“Iya, Hikari. Sekarang kau tidur ya? Sudah malam.”
“Um!” Hikari mengangguk dengan semangat lalu berlari menuju kamar.

“Papa, jangan terlalu memanjakan Hikari..” ucap perempuan paruh baya yang duduk di samping sang  Papa.
“Tak apa, Ma.. ”
“Tapi jika papa selalu menuruti keinginan Hikari, dia akan-”
“Tenang, Hikari akan baik-baik saja. Jika dia manja, itu wajar. Lagipula Hikari anak kita satu-satunya.” potong sang Papa yang mengalihkan pandangannya ke arah perapian. .
“Baiklah..” gumam sang Mama pasrah.

Malam selanjutnya, cuaca di Tokyo tak berbeda jauh dari malam-malam sebelumnya. Salju masih dengan setia berguguran dari langit.
“Papa pulang..”
“Papaa!!” teriak Hikari ceria sambil menghampiri papanya yang ada di ambang pintu. Ia begitu menantikan malam ini. Karena, yah, apa yang sangat ia ingin akan segera didapat.
“Papa, mana biola baruku? Mana, Pa? Mana??” tanya Hikari penasaran. Ia dengan tidak sabaran menarik-narik tangan ayahnya. Sesekali ia mencoba mengintip di balik punggung pria yang sudah menjadi pelindungnya selama 10 tahun dan berharap menemukan apa yang ia cari.Tapi melihat raut wajah ayahnya yang terlihat tidak biasa dan helaan nafas yang dalam, Hikari mulai merasakan sesuatu yang tidak diinginkannya akan segera terjadi.
"Pa?"
“Maaf, papa tidak bisa beli hari ini.” ucap sang Papa dengan raut wajah menyesal. Dan saat itu pula, Hikari merasa tubuhnya terhempas ke dalam jurang yang tak berdasar begitu keras. Dia kecewa, sangat kecewa, ia merasa telah dibohongi oleh ayahnya sendiri.
“Tapi papa bilang akan beli hari ini!” protes Hikari. Matanya terasa memanas dan perih.
“Iya, Hikari. Papa minta maaf, papa benar-benar tidak bisa.. Gaji papa tidak cukup untuk membe-”
“Papa pembohong!” Hikari berlari ke kamarnya dengan mata berkaca-kaca.
“Hikari!” panggil Hideo, ayah Hikari.
“Papa jahat! Aku benci papa!” teriak Hikari dari lantai dua. Dia sudah tidak peduli dengan teriakan ayahnya, karena emosi dan rasa kecewa yang memenuhi kepalanya.
“ Papa baik-baik saja?” sang istri menghampiri suami dengan perasaan cemas. Hideo menghela nafas sekali lagi, kemudian menggeleng pelan.
“Aku baik-baik saja, Ayaka” gumam Hideo lalu melangkah masuk. Ayaka, ibu Hikari menatap punggung suaminya khawatir. Karena saat suaminya mulai memanggil nama kecilnya, saat itulah ada sesuatu yang tersimpan. Semenjak saat itu Hikari bungkam terhadap ayahnya, bahkan kini sudah hari ke-3 ia mogok bicara. Saat sarapanpun suasana begitu hening, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terdengar.
‘Kreeet’ suara kursi bergeser.
“Aku selesai.” gumam Hikari, saat hendak meninggalkan ruang makan Hideo memanggil putrinya, tapi sang putri tak acuh dan terus melangkah keluar rumah. Sebenarnya Hikari sadar apa yang dilakukannya itu salah, bahkan terkadang ia menangis di kamarnya karena sudah menyakiti perasaan kedua orang tuanya dengan sikapnya yang egois juga keras kepala, ia tahu ayahnya begitu menyayangi dirinya dan akan melakukan apa saja agar dirinya bahagia, tapi dia terlalu naif dan gengsi untuk mengakui kesalahannya itu.
*
*
Putih. Itulah kata yang pas untuk menggambarkan jalanan yang kini tertutup salju tebal. Hikari, gadis bersurai coklat itu mengeratkan mantel tebalnya untuk mengurangi hawa dingin, ia melangkah sambil menunduk dan tak lupa sebelah tangan mungilnya menggenggam sebuah biola yang sudah mulai usang. Ia begitu mencintai biola dan cita-cita terbesarnya adalah menjadi seorang pemain biola professional yang dikenal banyak orang. Setiap langkahnya akan meninggalkan sebuah jejak berupa cekungan kecil.
“Ayah!” terdengar suara kecil tak jauh dari Hikari berdiri. Hikari berhenti dan menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang gadis yang sebaya dengannya tengah berlari menghampiri sang ayah. Sang ayah memberikan sebuah boneka beruang besar lalu menggendong gadis itu di punggungnya, gadis kecil itu begitu bahagia, terlihat dari senyum lebarnya yang terus terpasang manis. Hikari mengeratkan genggamannya pada biolanya. Iri, ia sering merasa iri ketika melihat orang lain mendapat apa yang mereka inginkan dengan mudah. Sedangkan dirinya harus menunggu lama untuk memperolehnya. Padahal, dulu ia merasa tak sesulit ini untuk memperoleh apa yang dia inginkan. Setiap kali ia berucap maka 'boom' dalam waktu singkat terkabul. Semua berubah sejak ia pindah ke rumahnya yang sekarang. Sadar dari lamunannya, Hikari kembali melangkah menuju tempat les biola.
Di pasar..
“Hideo! Cepat angkat itu!” perintah atasan Hideo. Dengan cekatan Hideo mengangkat dua karung berisi beras sekaligus. Lalu ia menaruh di mobil pick up’nya, satu-satunya barang berharga yang ia miliki setelah rumah dan keluarganya.
“Sekarang kau antar beras-beras itu.”
“Baik, permisi.” pamit Hideo.
‘Bruumm’ suara mesin mobil yang bermuatan karung-karung beras. Ya, inilah pekerjaan Hideo setelah kebangkrutan yang ia alami. Sekarang ia hanyalah tukang antar barang, terkadang ia juga bekerja sebagai tukang bangunan dan dari sinilah ia menyambung kehidupan keluarganya. Ia tidak peduli dengan kehidupan barunya yang jauh dari kehidupannya di masa lampau, karena yang terpenting baginya adalah terus berusaha untuk membuat keluarganya bahagia.
Malam harinya..
“Hikari..” panggil sang Mama. Hikari berhenti menaiki tangga tapi ia tak menoleh sedikitpun.
“Hei, lihat mama..” akhirnya Ayaka dengan pelan memutar badan Hikari agar berhadapan dengannya.
“Kamu masih marah pada papa?” tanyanya lembut. Hikari tetap diam dengan wajah tertunduk.
“Jawab mama, Hikari.”
“Aku ngantuk, Hikari mau tidur, Ma.” ujarnya sambil membalik badan lalu melanjutkan langkah kecilnya menaiki tangga. Tak lama kemudian Hideo datang menghampiri Ayaka.
“Masih bungkam?” tanya Hideo.
“Yah, begitulah..”
“Hn, ku harap ia bisa bersabar sampai saatnya tiba. Aku akan bicara dengannya” ujar Hideo.
“Perlu ditemani?” tawar Ayaka, tapi suaminya menggeleng pelan.
“Tak perlu, ini masalah antara anak dan ayah.” Hideo tersenyum lalu melangkah menaiki tangga menuju kamar Hikari.
‘Krieet’ suara pintu terbuka.
“Hikari.. kau sudah tidur?” Hideo memasuki kamar Hikari dengan perlahan. Suasana girly begitu terasa di kamar putri kesayangannya yang sangat menyukai warna pink dan boneka beruang. Hening. Tak ada sahutan.
“Hikari?”
“Jangan ganggu aku, aku mau tidur!” ucap Hikari ketus ala anak kecil yang sedang merajuk. Hideo duduk di tepi kasur.
“Kau masih marah sama, Papa?” tanya Hideo lembut. Hikari tidak menjawab.
“Maafkan, Papa...”
“Apa dengan papa minta maaf, akan muncul biola di hadapanku?!” keluh Hikari sambil mengubah posisinya menjadi duduk.
“Apa papa tahu betapa malunya aku di tempat les dengan biola jelek itu?!” sambung Hikari sambil menunjuk biolanya yang tergeletak di meja belajar.
“Aku mau biola baru malam ini! Jika tidak, aku akan terus bungkam pada papa!” lanjutnya. Hideo menghela nafas.
“Tapi malam ini cuaca sedang tidak bagus Hikari” ucap Hideo tetap tenang.
“Aku tidak peduli!”
“Baiklah.. Cepat pakai mantelmu, kita akan beli biola malam ini.” ujar Hideo melangkah keluar kamar.
“Papa tunggu di bawah.” gumam Hideo sebelum benar-benar meninggalkan kamar. Hikari yang bahagia dengan segera meraih mantelnya dan berlari keluar kamar. Terpancar aura kegembiraan yang begitu kuat dari dalam diri Hikari, tapi berbeda dengan aura yang ibunya keluarkan.
“Apa tidak apa-apa? Cuaca sedang tidak bagus, kalian bisa membelinya besok pagi kan?” ucap Ayaka khawatir.
“Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Badai tak masalah untukku, asal keluargaku bahagia dan senyum Hikari kembali berkembang. Aku tidak apa-apa.” gumam Hideo sambil memakai mantelnya.
“Papa, ayo!” ajak Hikari tak sabaran.
“Kami pergi dulu.” pamit Hideo. Setelah lima langkah menjauh dari rumah, entah kenapa ia kembali menghampiri Ayaka yang masih setia berdiri di ambang pintu.
'Cup' sebuah kecupan kecil mendarat di kening Ayaka dan senyum lembut menghiasi wajah suaminya.
"Aisitheru.." bisik Hideo. Ayaka memandang Hideo dengan pandangan yang sulit diartikan, ia merasa.. Segera ia tepis pikiran negatif yang hinggap dikepalanya.
"Aisitheru mo, Anata.." Setelah mendengar jawaban sang istri, Hideo kembali melangkah mejauh dari rumahnya. Lalu mereka berdua, Hideo dan Ayaka, menaiki mobil pick up. Ketika mobil itu sudah jauh, Ayaka menutup pintu rumah.
“Hideo..” gumam ayaka menatap hampa salju yang berjatuhan lewat jendela kaca di depannya.
*
*
Benar saja, malam ini cuaca memang terlihat sedang tidak bersahabat. Angin berhembus dengan kencang membawa butiran-butiran salju. Jalanan semakin tidak terlihat karena salju yang kian lama kian menebal. Akan sulit untuk di lewati kendaraan. Bahkan tak seorangpun terlihat di luar, mereka lebih memilih berada di dalam rumah mereka yang hangat. Tiba-tiba mobil hideo mogok di jalan yang jauh dari keramaian.
“Hikari, kau tunggu disini.” pesan Hideo sebelum keluar dari mobil. Ketika ia keluar hawa dingin menusuk permukaan kulitnya yang terbuka. Ia mulai mengotak-atik mobilnya. Setelah sekian lama mencoba memperbaiki mobilnya, akhirnya ia menyerah.
“Sial! ” umpatnya. Ia menoleh ke segala arah. Gelap. Tak ada tanda kehidupan disana, sedangkan salju turun semakin lebat. Ia kembali memasuki mobil.
“Mobil kita mogok jadi kita harus menunggu badai berhenti disini, setelah itu baru kita bisa pergi.” ucap Hideo menatap putrinya yang menggigil.
“Kau kedinginan?” tanya Hideo, lalu Hikari mengangguk. Hideo melepas mantelnya dan menyelimutkannya kepada Hikari.
“Ini akan membuatmu tetap hangat.” ucap Hideo sambil tersenyum.
“Ta-tapi bagaimana dengan papa? Apa papa tidak kedinginan?” tanya Hikari. Hideo menggeleng sambil tersenyum lagi.
“Tidak, papa baik-baik saja. Papa kan kuat.” ucap Hideo bohong, karena pada kenyataannya ia sama kedinginannya seperti Hikari. Hening. Entah sudah berapa lama mereka terjebak di tengah badai.
“Apa kau masih kedinginan,Hikari?” tanya Hideo dengan sedikit menggigil, terlihat wajahnya yang mulai memucat dan nafasnya yang semakin berat. Hikari mengangguk.
“Kemarilah.” Hideo memberi isyarat agar Hikari mendekat, Hikari menuruti perintah sang ayah. Saat itu juga Hideo memeluk erat Hikari.
“Pa-papa.. Hi-hikari takut..” gumam Hikari. Hideo semakin mengeratkan pelukannya.
“Ssstt, tenanglah. Semuanya akan baik-baik saja,oke?” Hideo tersenyum menenangkan Hikari.
“Papa akan selalu menjagamu..” ucap Hideo dengan suara bergetar, ia merasa jantungnya mulai berdetak semakin lemah dari biasanya. Saat itulah mata Hikari terasa memanas dan air mata mengalir menuruni pipi ranumnya.
“Ma-maaf.. ma-aafkan Hikari,Papa..” isak Hikari pelan.
“Tidak.. ini bukan salahmu,Hikari.. ini salah papa, maafkan papa yang tidak bisa membahagiakanmu. Papa sudah meminta bantuan dan jangan pejamkan matamu selama kau belum keluar dari badai ini. Jangan pernah sekalipun menutup mata, apa kau mengerti?” gumam Hideo pelan. Hikari yang mendengarnya hanya mengangguk masih dengan mata yang berair.
"Anak pintar. Papa akan menjagamu.. Papa menyayangimu.." bisik Hideo. Kelopak matanya terasa begitu berat dan perlahan tapi pasti kelopak mata itu mulai terpejam.
"Hikari.."
"....."
"....."
“Papa..” panggil Hikari. Hening.
“Pa-papa..!” tak ada sahutan. Air mata hikari mengalir semakin deras. Dia merasa begitu panik setelah menyadari ayahnya tak sadarkan diri.
“Hiks, papa banguun..” Hikari mengguncang pelan bahu Hideo. Tapi tetap tak ada pergerakan dari laki-laki itu.
“Hiks, papa.. ku mohon buka matamu..”
“....”
“Papaaa! buka matamu!” teriak Hikari. Saat tangan mungilnya tanpa sengaja menyentuh tangan sang ayah, baru ia sadari jika tubuh sang ayah sudah sangat dingin seperti es.
“....”
“Ku mohon.. Hikari janji tidak akan nakal lagi, sekarang papa bangun ya..” bisik Hikari sambil tersenyum pilu.
"Papa.." Pada akhirnya Hikari hanya bisa membisu dalam pelukan ayahnya.
*
*
Seminggu kemudian..
Pukul 13.00 siang
Hikaris’s POV
Pesta sudah selesai, hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-11 tahun. Tak ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Semua berjalan dengan meriah, hanya satu yang berbeda, tak ada papa disini. Perlahan air mataku mulai berjatuhan.
“Hiks.. maaf..” gumamku sambil menghapus air mata.
“Hikari.. kau kenapa?” tanya mama sambil memelukku.
“Apa kau tidak bahagia,sayang?” tanya mama lagi.
“Tidak, bukan begitu.. aku sangat bahagia,Ma.” ucapku bohong masih menangis. Tiba-tiba suara bel terdengar. Mama melepas pelukannya dan melangkah menuju pintu, aku berjalan mengikuti.
“Permisi, apa benar ini kediaman tuan Hideo?” tanya seseorang yang ada di depan pintu, aku berdiri di samping mama.
“Benar, ada apa ya?” tanya mama.
“Begini, seminggu yang lalu tuan Hideo memesan ini. Beliau bilang ingin memberi kejutan pada putri kesayangannya. Bisa panggilkan tuan Hideo untuk tanda tangan?”
“Maaf, suami saya sudah meninggal..” ucap mama muram, mendengar kata ‘meninggal’ membuat hatiku sedih.
“Ah, maaf, saya turut berduka cita atas beliau. Ini hadiahmu.” saat orang itu memberikan bungkusan besar padaku, aku menerima dengan perasaan sedikit bergetar.
“Baiklah,permisi.” pamit pengantar barang itu.
“Terima kasih.” ucap mama. Dengan perlahan aku membuka bungkusan itu dan kembali air mataku mengalir dengan perlahan.
‘Biola.’
Bungkusan itu berisi sebuah biola. Papa menepati janjinya,ya, papa memang selalu menepati janjinya padaku. Dan aku menyesal sempat tidak percaya padanya, aku.. aku harus kesana.. Berterima kasih pada papa. Aku berlari menuju tempat dimana papa beristirahat, aku tak peduli teriakan mama. Aku terus berlari tanpa menyadari ada sebuah mobil melaju kencang ke arahku dan kejadian itu terjadi begitu cepat.
“Hikariii!”
Itu teriakan mama, ya aku yakin itu suara mama. Aku merasa keningku basah oleh cairan yang berbau sedikit anyir, mulutku juga terasa asin oleh cairan itu. Kepalaku terasa begitu pening, pandanganku mulai mengabur, saat aku menoleh ke kanan aku melihat papa berdiri disana, di tempat yang tak jauh dariku terbaring dan dia.. tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya dan kembali menangis.
“Papa.. Terima kasih.” gumamku. Tiba-tiba kesadaranku mulai menghilang dan saat itu pula aku kehilangan nafasku.
-The end-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar